Minggu, 19 November 2017

Musyawarah dan Mufakat

Musyawarah untuk Mencapai Mufakat


Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Maknavini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang
dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.

Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun.

Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak.

Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi ﷺ  menyamakan seorang mukmin dengan lebah.

AYAT-AYAT TENTANG MUSYAWARAH

Ada tiga ayat Al-Quran yang akar katanya menunjukkan
musyawarah.

a. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 233

Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. 

Pada ayat di atas, Al-Quran memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawarahkan antara suami-istri.

b. Dalam surat Ali 'Imran (3): 159

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. 

Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu).

Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.

Ayat ini dan segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ  agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti yang akan
dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.

c. dalam surat Al-Syura (42): 38

Allah menyatakan bahwa orang mukmin akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kekal di
sisi Allah. 

Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu adalah:

Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Ayat ketiga ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi ﷺ  dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.

Dari ketiga ayat di atas saja, maka sepintas dapat diduga bahwa Al-Quran tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap persoalan musyawarah. Namun dugaan tersebut akan sirna, jika
menyadari cara Al-Quran memberi petunjuk serta menggali lebih jauh kandungan ayat-ayat tersebut.

PETUNJUK AL-QURAN MENYANGKUT PERKEMBANGAN MASYARAKAT

Secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk Al-Quran yang rinci lebih banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan. Dari sini dipahami kenapa uraian Al-Quran mengenai metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini merupakan soal yang tak terjangkau nalar. 

Demikian juga soal mahram (yang terlarang dikawini), karena ia tak mengalami
perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin memiliki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga dekat tertentu, demikian seterusnya.

Adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan, Al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.

Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang
sama untuk masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa yang berbeda, apalagi di tempat yang lain pada masa yang berlainan.

Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya. Karena itu pula, petunjuk kitab suci Al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja.

Jangankan Al-Quran, Nabi Saw. yang dalam banyak hal menjabarkan petunjuk-petunjuk umum Al-Quran, perihal musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya. Bahkan tidak juga memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah beliau --Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali r. a.-- berbeda-beda di antara satu dengan lainnya.

Demikianlah, Rasul Saw. tidak meletakkan petunjuk tegas yang rinci tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri yang meletakkan hukumnya, ini bertentangan dengan prinsip syura yang diperintahkan Al-Quran --bukankah Al-Quran memerintahkan agar persoalan umat dibicarakan bersama?

Sedangkan apabila beliau bersama sahabat yang lain menetapkan sesuatu, itu pun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku --rincian itu-- untuk masa sesudahnya. Bukankah Rasul Saw. telah memberi kebebasan kepada umat Islam agar mengatur sendiri urusan dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

"Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian."

Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad,

"Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya."

Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha:

Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai,
untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat... Kita sering mengikat diri sendiri dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu ajaran agama. Namun, pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita.

Demikian lebih kurang tulisan Rasyid Ridha ketika menafsirkan
surat Al-Nisa' (4): 59.

MUSYAWARAH DALAM AL-QURAN

Memang banyak persoalan yang dapat diambil jawabannya dari ketiga ayat musyawarah itu. Namun, tidak sedikit dari jawaban tesebut merupakan pemahaman para sahabat Nabi atau ulama.

Meskipun ada juga yang merupakan petunjuk-petunjuk umum yang bersumber dari Sunnah Nabi Saw., tetapi petunjuk-petunjuk tersebut masih dapat dikembangkan atau tidak sepenuhnya mengikat.

Berbagai masalah yang dibahas para ulama mengenai musyawarah antara lain: (a) orang yang diminta bermusyawarah; (b) dalam hal-hal apa saja musyawarah dilaksanakan; dan (c) dengan siapa
sebaiknya musyawarah dilakukan.

Sebelum menguraikan sekilas tentang hal-hal tesebut, terlebih dahulu periu dikemukakan petunjuk yang diisyaratkan Al-Quran mengenai beberapa sikap yang harus dilakukan seseorang untuk
mensukseskan musyawarah. Petunjuk-petunjuk tersebut secara tersurat ditemukan dalam surat Ali 'Imran ayat 159 yang terjemahannya telah dikutip di atas.

Pada ayat itu disebutkan tiga sikap yang secara berurutan diperintahkan kepada Muhammad Saw. untuk beliau lakukan sebelum datangnya perintah bermusyawarah. 

Penyebutan ketiga sikap tersebut --menurut hemat penulis-- walaupun dikemukakan sesuai konteks turunnya ayat, serta mempunyai makna tersendiri berkaitan dengan sikap atau pandangan para sahabat --sebagaimana akan diutarakan kemudian-- namun, dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah agaknya sifat-sifat tersebut sengaja dikemukakan agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu disebutkan satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah, yakni kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan
dalam musyawarah. Sikap-sikap tersebut sebagian terbaca pada ayat Ali 'Imran di atas.

Pertama, adalah sikap lemah lembut.

Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran
pergi. Petunjuk ini dikandung oleh frase, Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras,
niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. 
Dalam ayat di atas disebutkan sebagai fa'fu anhum (maafkan mereka).

Maaf, secara harfiah, berarti "menghapus". Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati.

Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar
kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. 

Itulah kandungan pesan fa'fu anhum.

Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan atau ketajaman analisis saja, tidaklah cukup. William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan,

Akal memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan suatu argumen dengan argumen lain. Ini akan dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-nilai hidup kita.

Nah, jika demikian, kita masih membutuhkan "sesuatu" di samping akal. Terserah Anda, apa nama "sesuatu" itu. Namailah "indera keenam" sebagaimana filosof dan psikolog menamainya, atau "bisikan atau gerak hati" seperti kata orang kebanyakan, atau "ilham, hidayat, dan firasat" menurut nama yang diberikan agamawan.

Tidak jelas cara kerja "sesuatu" itu, karena datangnya sekejap, sekadar untuk mencampakkan informasi yang diduga "kebetulan" oleh sebagian orang, dan kepergiannya pun tanpa izin orang yang dikunjungi.

Biasanya, "sesuatu" itu mengunjungi orang-orang yang jiwanya dihiasi kesucian, karena Allah tidak akan memberi hidayat kepada orang yang berlaku aniaya (QS Al-Haqarah [2]: 258),
kafir (QS Al-Baqarah [2]: 264), bergelimang dosa atau fasik (QS Al-Ma-idah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS Al Mu'min [40]: 28), pengkhianat (QS Yusuf [12]: 52), dan pembohong (QS Al-Zumar [39]: 3).

Jika demikian, untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan surat Ali 'Imran ayat 159 di atas, wa istaghfir lahum.

Pesan terakhir Ilahi di dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu

Apabila telah bulat tekad (laksanakanlah) dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri.

ORANG-ORANG YANG DIMINTA BERMUSYAWARAH

Secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah pada ayat 159 surat Ali 'Imran ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini dengan mudah dipahami dari redaksi perintahnya yang
berbentuk tunggal. Namun demikian, pakar-pakar Al-Quran sepakat berpendapat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. saja diperintahkan oleh Al-Quran
untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma'shum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau.

Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk Semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada Nabi Saw. Di sini Nabi berperan sebagai pemimpin umat, yang berkewajiban menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh umat, sehingga sejak semula kandungannya telah ditujukan kepada mereka semua.

Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedangdalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. 

Nabi cenderung untuk bertahan di kota Madinah, dan tidak ke luar menghadapi musuh yang datang dari Makkah. Sahabat-sahabat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum Muslim di bawah pimpinan Nabi Saw "keluar" menghadapi musuh. Pendapat mereka
itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi Saw. menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Saw.

Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi Saw. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-Quran tentang musyawarah.

Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi Saw. bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru.
Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.

Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan:

"Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk [kepada Allah] tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah."

LAPANGAN MUSYAWARAH

Apakah Al-Quran memberikan kebebasan melakukan musyawarah untuk segala persoalan? Jawabannya secara tegas: Tidak.

Ayat Ali 'Imran di atas, yang menyuruh Nabi Saw. melakukan musyawarah, menggunakan kata al-amr: ketika memerintahkan bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan penulis
dengan "persoalan/urusan tertentu". Sedangkan ayat Al-Syura menggunakan kata amruhun yang terjemahannya adalah "urusan mereka".

Kata amr dalam Al-Quran ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur tangan manusia pada urusan tersebut, seperti misalnya:

Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku" (QS Al-Isra' [17]: 85).

Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam QS Al-Kahf [18]: 16.

Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu, dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu (QS Al-Kahf [18]: 16).

Atau ada juga yang dinisbahkan kepada orang ketiga seperti dalam surat Al-Syura yang sedang dibicarakan ini (urusan mereka).

Sebagaimana ada juga kata "amr" yang tidak dinisbahkan itu yang berbentuk indefinitif, sehingga secara umum dapat dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam QS Al-Baqarah (2): 117.

Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata: "Jadilah", maka jadilah ia (QS Al-Baqarah [2]: 117).

Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Sebagaimana surat Al-Isra' ayat 85 yang mengkhususkan hal-hal tertentu
sebagai urusan Allah. Bahkan Al-Quran surat Ali 'Imran ayat 128 secara tegas menafikan pula urusan-urusan tertentu dari wewenang Nabi Saw.,

Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka (itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berlaku aniaya (QS Ali 'Imran [3]: l28).

Ayat ini turun berkaitan dengan ucapan Nabi Saw. ketika beliau dilukai oleh kaum musyrikin pada perang Uhud. "Bagaimana Allah akan mengampuni mereka, sedangkan mereka telah mengotori wajah Nabi Saw. dengan darah"? 

Dari riwayat lain dikemukakan, bahwa ayat ini turun untuk menegur Nabi Saw. yang mengharapkan agar Tuhan menyiksa orang-orang tertentu dan memaafkan orang-orang 1ain.

Betapapun, dari ayat-ayat Al-Quran, tampak jelas adanya hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.

Dalam konteks ketetapan Allah dan ketetapan Rasul yang bersumber dari wahyu, Al-Quran menyatakan secara tegas:

Tidaklah wajar bagi seorang mukmin atau mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu hukum, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 36).

As-Sunnah juga menginformasikan bahwa sahabat-sahabat Nabi Saw. menyadari benar hal tersebut, sehingga mereka tidak mengajukan saran terhadap hal-hal yang telah mereka ketahui bersumber dari petunjuk wahyu. Umpamanya, ketika Nabi Saw. memilih suatu lokasi untuk pasukan Islam menjelang berkecamuknya perang Badar, sahabat beliau Al-Khubbab bin Al-Munzir yang memiliki pandangan berbeda tidak mengajukan usulnya kecuali setelah bertanya:

+ "Apakah ini tempat yang ditujukan untuk engkau pilih, ataukah ini berdasarkan nalarmu, strategi perang, dan tipu muslihat?" tanya Al-Khubbab.

- "Tempat ini adalah pilihan berdasar nalar, strategi perang, dan tipu muslihat," jawab Nabi Saw.

Mendengar jawaban itu, barulah Al-Khubbab mengajukan usul untuk memilih lokasi lain di dekat sumber air, dan kemudian disetujui oleh Nabi Saw. Demikian diriwayatkan oleh Al-Hakim.

Ketika terjadi perundingan Hudaibiyah, sebagian besar sahabat Nabi Saw. terutama Umar bin Khaththab, amat berat hati menerima rinciannya, namun semuanya terdiam ketika Nabi bersabda. "Aku adalah Rasulullah Saw."

Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawarahan hanya untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan agama. Pakar yang lain memperluas hingga membenarkan adanya
musyawarah di samping untuk urusan dunia, juga untuk sebagian masalah keagamaan. Alasannya, karena dengan adanya perubahan sosial, sebagian masalah keagamaan belum ditentukan penyelesaiannya di dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi Saw.

Dari sini disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti misalnya tata cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.

Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi, dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi atau keluarga. Salah satu kasus keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah terhadap istri beliau Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai kehormatan rumah tangga. Ketika gosip tersebut
menyebar, Rasulullah Saw. bertanya kepada sekian orang sahabat/keluarganya.

Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.

Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia tidak dan belum sampai ke sana?

BERMUSYAWARAH DENGAN SIAPA?

Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam ayat pertama tentang musyawarah di atas, Nabi Saw. diperintahkan
bermusyawarah dengan "mereka". Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw., yakni yang disebut umat atau anggota masyarakat.

Sedangkan ayat yang lain menyatakan,

Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka (QS Syura [42]: 38).

Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang khusus berkaitan dengan masyarakat sebagai satu unit. Tetapi, sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Saw. dan para sahabatnya, tidak tertutup kemungkinan memperluas jangkauan pengertiannya sehingga mencakup persoalan individu sebagai anggota masyarakat.

Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama,
diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendaknya dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah. Satu dari sekian riwayat menyatakan bahwa Rasul Saw. pernah berpesan kepada
Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:

Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk
terhadap Allah.

Imam Ja'far Ash-Shadiq pun berpesan,

Bermuyawarahlah dalam persoalan-persoalanmu dengan seseorang yang memiliki lima hal: akal, lapang dada, pengalaman, perhatian, dan takwa.

Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktek yang dilakukan Nabi Saw. cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang
yang dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat di dalam masalah yang dihadapi.

Sebagian pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang-orang yang terlibat di dalamnya ketika mereka menafsirkan firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa'(4): 59:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat mengenai suatu hal, kembalikanlah kepada (jiwa ajaran) Allah (Al-Quran) dan (jiwa ajaran) Rasul (sunnahnya). Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa [4]: 59).

Dalam ayat itu terdapat kalimat u1u1 amr, yang diperintahkan untuk ditaati. Kata amr di sini berkaitan dengan kata amr yang disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Syura ayat 38 (persoalan
atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan). Tentunya tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para pakar diberi nama berbeda-beda sekali Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd, dikali lain Ahl Al-Ijtihad, dan kali ketiga Ahl Al-Syura.

Dapat disimpulkan bahwa Ahl Al-Syura merupakan istilah umum, yang kepada mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan dan saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci
dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung pada persoalan apa yang sedang dimusyawarahkan.

Sebagian pakar kontemporer memahami istilah Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd sebagai orang-orang yang mempunyai pengaruh di tengah masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat
atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal yang sama.

Muhammad Abduh memahami Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd sebagai orang yang menjadi rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non-formal, sipil maupun militer.

Adapun Ahl Al-Ijtihad adalah kelompok ahli dan para teknokrat dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu.

SYURA DAN DEMOKRASI

Al-Quran dan Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti al-syura, keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan haq al-'ibad (hak-hak manusia), dan lain-lain, yang kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.

Apabila kita bermaksud membandingkan syura dengan demokrasi, tentunya perlu juga dijelaskan apa yang disebut demokrasi. Namun, untuk tidak memasuki perincian tentang makna demokrasi
yang beraneka ragam, dapat dikatakan bahwa manusia mengenal tiga cara menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, yaitu:

1. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.

2. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas.

3. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas, dan ini biasanya menjadi ciri umum
demokrasi.

Syura yang diwajibkan oleh Islam tidak dapat dibayangkan berwujud seperti bentuk pertama, karena hal itu justru menjadikan syura lumpuh. Bentuk kedua pun tidak sesuai dengan makna syura, sebab apakah keistimewaan pendapat minoritas yang mengalahkan pandangan mayoritas?

Memang ada sebagian pakar Islam kontemporer yang menolak kewenangan mayoritas berdasar firman Allah :

Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun banyaknya yang buruk itu menyenangkan kamu (QS Al-Ma-idah [51: 100).

Dan firman Allah:

Kebanyakan kamu tidak menyenangi kebenaran (QS Al-Zukhruf [43]: 78).

Tetapi pandangan mereka sulit diterima, karena ayat-ayat itu bukan berbicara dalam konteks musyawarah melainkan dalam konteks petunjuk Ilahi yang diberikan kepada para Nabi dan ditolak oleh sebagian besar anggota masyarakatnya ketika itu.

Ayat-ayat tersebut berbicara tentang sikap masyarakat Makkah ketika itu, serta umat manusia dalam kenyataannya dewasa ini.

Namun demikian, walaupun syura di dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi menurut sementara pakar ia tidaklah mutlak. Demikian Dr. Ahmad Kamal Abu Al-Majad,
seorang pakar Muslim Mesir kontemporer dalam bukunya Hiwar la Muwayahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Agaknya yang dimaksud adalah bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasar
pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musyawarah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kesepakatan.

Ini karena syura dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang memiliki sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi atau golongan, dan dilaksanakan sewajarnya agar disepakati bersama. 

Sekalipun ada di antara mereka yang tidak menerima keputusan, itu dapat menjadi indikasi adanya
sisi-sisi yang kurang berkenan di hati dan pikiran orang-orang pilihan walaupun mereka minoritas, sehingga masih perlu dibicarakan lebih lanjut agar mencapai mufakat (untuk menemukan "madu" atau yang terbaik).

Ini merupakan salah satu perbedaan antara syura di dalam Islam dengan demokrasi secara umum.

Memang, apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan mufakat, dan tidak ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas, saat itu dapat dikatakan bahwa kedua pandangan masing-masing
baik, tetapi yang satu jauh lebih baik. Di dalam kaidah agama diajarkan apabila terdapat dua pilihan yang sama-sama baik, pilihlah yang lebih banyak sisi baiknya, dan jika keduanya buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.

Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga perbedaan. Walaupun keduanya --syura dan demokrasi-- menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial, namun syura di dalam Islam mengaitkannya dengan "Perjanjian Ilahi". 

Ini diisyaratkan oleh Al-Quran dalam firman-Nya ketika mengaangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai imam.

Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam (pemimpin) bagi manusia." Ibrahim berkata, "Saya bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan juga kepada sebagian keturunanku." Dia (Allah) berfirman, "Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim" (QS Al-Baqarah [2]: 124)

Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam demokrasi sekular persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi dalam syura yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan untuk
memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
Ilahi.

Demikian sekilas mengenai wawasan musyawarah di dalam Al-Quran. Agaknya dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan oleh Al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat manusia.

Namun demikian, Al-Quran tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks Al-Quran hanyalah bahwa Islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat di dalam urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola, dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena
satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. 

Bahkan masyarakat tertentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa ke masa yang lain.

Sikap Al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.

Mengikat diri atau masyarakat kita dengan fatwa ulama dan pakar-pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi Saw. dalam persoalan syura, atau pandangan dan pengalaman masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah dan pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang tepat, baik ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.

Memang setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai pandangan dan jalan yang berbeda-beda. Hakikat ini agaknya merupakan salah satu kandungan makna firman Allah.

Setiap umat (masyarakat) di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang (QS Al-Maidah [5]: 48).

Mahabenar Allah Yang Mahaagung dalam segala firman-Nya.


SUMBER:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar